Selamat Datang di Blog Yulita Angger Rina

Selamat Datang di Blog Yulita Angger Rina..
Welcome to My World..

Sabtu, 25 Desember 2010

WAJAH BIROKRASI DI INDONESIA DALAM KONTEKS KORUPSI DAN ETIKA BIROKRASI


WAJAH BIROKRASI DI INDONESIA DALAM KONTEKS KORUPSI DAN ETIKA BIROKRASI
Oleh : Yulita Angger Rina (F1B008035)

Pendahuluan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan etika dalam birokrasi pemerintahan  seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan beberapa profesi yang melakukan pelanggaran terhadap etika seperti pejabat administrasi negara, anggota legislatif, jaksa, hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain sebagainya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal dari seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus mematuhi etika jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat.

1.     Etika Birokrasi
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008).
Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia ( Simorangkir : 1978 ).
Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama di negara-negara berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Selama ini banyak pakar yang menulis dan meneliti tentang birokrasi yaitu bahwa fungsi dari staf pegawai administrasi memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efisien, yaitu :
a.     Kerja yang ketat pada peraturan (rule)
b.     Tugas yang khusus (spesialisasi)
c.     Kaku dan sederhana (zakelijk)
d.     Penyelenggaraan yang resmi (formal)
e.     Pengaturan dari atas ke bawah (hirarki)
f.      Berdasarkan logika (rasional)
g.     Tersentralistis (otoritas)
h.     Taat dan patuh (obedience)
i.      Disiplin (dicipline)
j.      Tersruktur (sistematis)
k.     Tanpa pandang bulu (impersonal).
Inilah prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari birokrasi yang pertama kali ditulis Max Weber (Max Weber : 1946). Namun prinsip ideal yang dikemukakan Weber tidak memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya.
Etika jabatan atau etika birokrasi adalah etika yang berkaitan dengan tugas-tugas yang dilakukan seseorang yang ditunjukkan oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab tertentu yang membutuhkan waktu dan perhatian penuh yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut ( Simorangkir : 1978 ).
Dengan demikian etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara.
Kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik, sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir : 1978).
Kode etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya (Suyamto : 1989).
Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI. Ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai etis tetapi terasa abstrak juga terdapat dalam sumpah jabatan pegawai negeri yang harus diucapkan pada saat mereka dilantik (Kumorotomo : 1999).
Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya, para birokrat dalam menjalankan pekerjaannya tidak sesuai dengan aturan dan kode etik yang berlaku. Beberapa gambaran tentang birokrasi pemerintahan di Indonesia yang berhubungan dengan konteks etika antara lain :
a.     Segala bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme dan gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara kita. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop. Saat ini masih banyak ditemui pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi sehingga memungkinkan untuk pemberian uang pelicin kepada pejabat administrasi negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
b.     Banyaknya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta pemberian ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu kepada daerah. Contoh kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah Bintan kepada Komisi IV DPR dalam pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
c.     Masih banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi Dana Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam laporan keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
d.     Adanya indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
e.     Adanya mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain kasus penyuapan Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo Widjojo. Kemudian kasus penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya kasus penyuapan dan pemerasan anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.
f.      Belakangan ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan yang memiliki harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam pengurusan dan penghapusan tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu. Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan berhasil menyuap pihak kepolisian dan kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar beberapa waktu dapat keluar dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan. Gayus tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal ini memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka dan terpidana.
Dari gambaran di atas, dapat kita ketahui bagaimana buruknya wajah para birokrat Indonesia baik pejabat administrasi negara, kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan sebagainya yang sarat akan praktek korupsi dalam bentuk penyuapan, pemberian gratifikasi, penggelapan, penyelewengan dana APBN, pemerasan, komisi, dan nepotisme dalam pelaksanaan tender dan sebagainya.
Asas-asas umum birokrasi pemerintahan yang baik :
a.     Prinsip Demokrasi
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan kehendak negara dan rakyat yang akan menentukan pula bagaimana berbuatnya (Joeniarto, 1984 :17).
Maka dalam sistem pemerintahan yang memakai asas kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Setiap anggota dewan perwakilan, kepala negara, menteri dan segenap aparatur negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat dalam arti yang luas.
b.     Keadilan Sosial dan Pemerataan
Salah satu asas umum pemerintahan dan administrasi pembangunan yang perlu mendapat perhatian lebih besar sekarang ini adalah yang menyangkut keadilan (equity) dan pemerataan (even distribution / fair distribution). Kedua konsep ini juga merupakan landasan pokok bagi etika pembangunan dan merupakan ukuran moralitas bagi kebijakan publik.

c.     Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara ialah apabila negara, melalui aktivitas-aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat (Kumorotomo, 1999 : 275).

Kemudian di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 memuat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup birokrasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu.
Dengan aturan yang baku tersebut secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan.

2.     Korupsi
Dewasa ini para pejabat administrasi banyak yang terjerat dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta tindakan asusila lainnya. Korupsi berasal dari kata Latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang berarti penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ada dua macam korupsi yaitu korupsi uang dan korupsi waktu (Kumorotomo : 2008).
Menurut KPK, suap adalah setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pemerasan adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Gratifikasi adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu bisa berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, fasilitas wisata, fasilitas perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan seksual.
Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara, secara langsung maupun tidak langsung (Kumorotomo, 1999 :179).
Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi birokrasi yang ke atas tampak dari kebiasaan sebagian besar pejabat untuk melapor kepada atasan dengan bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan menganggap bahwa segala sesuatu yang direncanakan oleh pusat itu baik untuk diterapkan di tingkat lokal. Yang menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya bertugas melapor pada eksekutif puncak, siapa yang akan mengawasi eksekutif puncak itu sendiri (Kumorotomo, 1999 : 207).
Salah satu hal yang menjadi penyebab merajalelanya korupsi ialah tidak adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada proses  check and balance.
Efek birokratisasi juga merupakan salah satu sumber penyebab korupsi di kebanyakan negara berkembang. Teori Parkinson tentang birokrasi mengatakan bahwa di dalam setiap struktur formal terdapat kecenderungan bagi bertambahnya personil dalam satuan-satuan organisasi. Setiap kali mendapat tugas, biasanya para pejabat akan membentuk satuan-satuan baru atau merekrut orang-orang baru. Ini mengakibatkan membengkaknya birokrasi baik dari segi jumlah satuan maupun jumlah pegawainya (Kumorotomo, 1999 : 208).
Berdasarkan penelitian dari The World Bank Development Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) menyatakan bahwa meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi. Hanya disebutkan di sana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
Berdasarkan tujuan yang mendorong orang melakukan korupsi, pada pokoknya korupsi dapat dibagi menjadi dua yakni korusi politis dan korupsi material. Korupsi politis merupakan penyelewengan kekuasaan yang lebih mengarah ke permainan-permainan politis yang kotor, nepotisme, klientelisme, penyalahgunaan pemungutan suara, dan sebagainya. Sedangkan korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi, penyuapan, penggelapan, dan sebagainya. Arnold A. Rogow dan Harold D. Lasswel menyebut para pejabat yang melakukan korupsi politis sebagai  game politician atau politisi permainan, sedangkan pejabat yang melakukan korupsi material sebagai gain politician atau politisi pendapatan (Rogow & Lasswel : 1963).
Survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 105 unit layanan di 40 departemen/instansi tingkat pusat serta 52 kabupaten/kota di 20 provinsi menunjukkan rendahnya kualitas layanan publik di Indonesia.

Integritas Birokrasi Pelayan Publik

No
Bentuk Integritas Rendah
Responden
Prosentase
1
Korupsi
3277
33%
2
Diskriminatif dalam pelayanan
3575
36%
3
Pelayanan dipersulit bila tidak memberi imbalan kepada petugas / biaya tambahan
3078
31%
Jumlah
9.930
100%
Sumber : Survei KPK terhadap kualitas layanan publik, 2008

Dari hasil survei tersebut terlihat bahwa diskriminatif dalam pemberian layanan publik menempati urutan teratas indikator rendahnya integritas birokrasi dalam pelayanan publik. Artinya, penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi hubungan perkoncoan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.

Riset yang dilakukan oleh Institute for Civil Society (INCIS) pada masyarakat pengguna jasa layanan publik di wilayah DKI mempertegas adanya diskriminasi dalam praktek layanan publik. Survei ini sebenarnya bisa digunakan sebagai  efek shamming bagi birokrasi yang diharapkan akan bisa memacu birokrasi mengubah pencitraan diri menjadi lebih baik.

Penyebab Diskriminasi Pada Layanan Publik

No
Bentuk Diskriminasi
Prosentase (%)
1
Suap
57.6
2
Pertemanan
24.7
3
Hubungan Saudara
11.8
4
Kesamaan Suku / Etnis
3.9
5
Kesamaan Parpol
1.4
6
Kesamaan Agama
0.6
Jumlah
100
Sumber : Institute for Civil Society (INCIS) , 2007

Dari tabel tersebut diketahui bahwa bentuk diskriminasi layanan publik yang paling menonjol adalah karena suap. Suap bisa terjadi karena masyarakat menginginkan pelayanan yang cepat sedangkan aparat mencari peluang tambahan uang. Budaya suap sudah begitu mengakar pada praktek layanan publik kita, sehingga sulit untuk diberantas. Sulitnya menghilangkan suap ini juga dikarenakan perilaku masyarakat sendiri yang seringkali justru menawarkan sejumlah uang atau pemberian barang kepada birokrasi sebagai pelicin urusan.

Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah juga sering kali bermasalah, baik dari segi kualitas barang yang tidak sesuai maupun adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara pejabat pemerintah dengan para penyedia barang atau jasa. Upaya untuk memberantas praktek-praktek KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa berkembang semakin kuat dengan semakin tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, terutama dalam bentuk pengawasan terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selama ini, kurangnya pengawasan oleh masyarakat pada proses pengadaan barang dan jasa, antara lain disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Di samping itu, tidak tersedianya mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan pada suatu proses pengadaan barang dan jasa semakin memperkecil keinginan, peran dan partisipasi masyarakat untuk melakukan fungsi pengawasan.
Pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah semakin diperkuat dan dipertegas oleh pemerintah melalui peraturan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.  Inpres tersebut mengamanatkan bahwa proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 sehingga berbagai peluang kebocoran dan kemungkinan terjadinya pemborosan keuangan negara, baik yang berasal dari APBN maupun APBD dapat dicegah.

Solusi Pencegahan Korupsi dalam Birokrasi
Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah korupsi antara lain :
1)    Cara Sistemik-Struktural
Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup. Suprastruktur politik adalah keseluruhan lembaga penyelenggara negara yang mempunyai kewenangan hukum konstitusional yang bersumber dari UUD 1945 seperti MPR, Presiden, DPR, DPA, BPK, MA dan pemerintah daerah beserta seluruh jajarannya. Sedangkan infrasruktur politik adalah organisasi-organisasi kekuatan sosial politik dan kemasyarakatan yang tidak mempunyai kewenangan hukum konstitusional tetapi dapat berperan sebagai kelompok penekan.
2)    Cara Abolisionistik
Korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab tersebut. Jalan yang ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah ke tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menindak orang-orang yang korup berdasarkan kodifikasi hukum yang berlaku. Pemerintah harus berani melakukan pembersihan di dalam tubuh pemerintahan yaitu pembersihan terhadap aparatur-aparatur yang tidak jujur.
3)    Cara Moralistik
Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah faktor sikap dan mental manusia. Oleh karena itu usaha penanggulangannya harus pula terarah pada faktor moral manusia  sebagai pengawas aktivitas-aktivitas tersebut. Cara moralistik dapat dilakukan melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum serta memasukkan etika dan moral dalam kurikulum pendidikan di sekolah formal dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (Kumorotomo, 1999 : 218).

 
Kesimpulan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas. Etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kode etik dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI dan isi yang termuat dalam Sumpah Jabatan.
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara, perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Bentuk dari korupsi dalam birokrasi dapat berupa suap, pemerasan, gratifikasi, penggelapan, nepotisme, komisi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, perbuatan curang, dan sebagainya.
Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah korupsi antara lain :
1)    Cara Sistemik-Struktural
2)    Cara Abolisionistik
3)    Cara Moralistik

Saran
Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi antara lain adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga ada proses  check and balance. Masyarakat seharusnya ikut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Kemudian perlu adanya perampingan birokrasi agar birokrasi lebih efektif dan efisien serta untuk mencegah bertambahnya pegawai yang melakukan korupsi.
Dalam perumusan kebijakan, pejabat administrasi negara perlu untuk lebih memperhatikan kepentingan umum (public interest). Pemerintah seharusnya terus melakukan reformasi birokrasi dengan menerapkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan agar birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih akuntabel, transparan, responsive, efektif dan efisien.

Daftar Pustaka
Joeniarto. 1984. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Bina Aksara : Jakarta.
Kencana, Inu, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Rineka Cipta : Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. 1999. Etika Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Rogow & Lasswel. 1963. Poor, Corruption and Rectitude. N.J. Prentice-Hall.
Simorangkir, OP. 1978. Etika Jabatan. Aksara Persada Indonesia : Jakarta.
Suyamto. 1989. Norma dan Etika Pengawasan. Sinar Grafika : Jakarta.
Weber, Max. 1946. Essay in Sociology. Oxford University Press : New York.